Mewaspadai Kekerasan di Tempat Kerja: Tanggung Jawab Bersama untuk Lingkungan yang Aman

Lingkungan kerja yang aman dan bebas dari kekerasan merupakan prasyarat fundamental bagi produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa kekerasan di tempat kerja masih menjadi isu serius yang kerap luput dari perhatian.

Survei International Labour Organization (ILO) pada tahun 2022 mencatat bahwa lebih dari 70% pekerja di Indonesia pernah mengalami bentuk kekerasan atau pelecehan di tempat kerja, dengan kekerasan psikologis sebagai bentuk yang paling umum. Selain itu, Komnas Perempuan melaporkan terdapat 2.702 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja sepanjang tahun 2024—sebuah angka yang menegaskan betapa krusialnya isu ini dalam konteks hubungan industrial dan hak asasi manusia.

Sayangnya, hingga tahun 2025, belum tersedia data resmi dan terpilah yang komprehensif mengenai kekerasan di tempat kerja, baik berdasarkan gender maupun bentuk kekerasannya. “Belum tersedia data terpilah secara lengkap,” ujar Irwan Setiawan, Komisioner Komnas Perempuan, dalam keterangan pers pada Kamis (1/5/2025), sebagaimana dikutip dari Kompas.id

Artikel ini akan membahas beberapa bentuk kekerasan di lingkungan kerja, termasuk perundungan, kekerasan seksual, intoleransi, dan diskriminasi, serta dampak dan mekanisme pelaporannya. Dengan pemahaman yang komprehensif, diharapkan tercipta lingkungan kerja yang lebih aman, sehat, dan inklusif bagi semua.

1. Perundungan di Lingkungan Kerja

Workplace bullying atau perundungan di tempat kerja adalah perilaku negatif yang berulang, seperti intimidasi, pelecehan verbal, pengucilan sosial, atau pemberian tugas yang tidak proporsional. Perilaku ini dapat berdampak serius terhadap kesehatan mental korban dan iklim kerja secara keseluruhan.

Di Indonesia, meskipun belum tersedia data nasional yang komprehensif mengenai perundungan di tempat kerja, beberapa studi dan laporan menunjukkan bahwa fenomena ini cukup mengkhawatirkan. Misalnya, survei yang dilakukan terhadap tenaga kesehatan di Yogyakarta (2024) menemukan bahwa 4,8% dari 482 responden mengaku mengalami perundungan di tempat kerja, dengan verbal abuse sebagai bentuk yang paling umum. Selain itu, Kementerian Kesehatan menerima 356 laporan perundungan di lingkungan rumah sakit antara Juli 2023 hingga Agustus 2024, dengan jenis perundungan yang dilaporkan meliputi intimidasi verbal dan pemberian tugas yang tidak relevan .

Faktor penyebab perundungan umumnya berasal dari budaya kerja yang hierarkis dan minim akuntabilitas. Lingkungan seperti ini memicu ketimpangan relasi kuasa antara atasan dan bawahan, yang dapat memperbesar potensi penyalahgunaan wewenang.

2. Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja

Kekerasan seksual di tempat kerja merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang berdampak langsung pada martabat, rasa aman, dan kesehatan mental korban. Bentuknya dapat meliputi pelecehan verbal, isyarat bernuansa seksual, kontak fisik yang tidak diinginkan, hingga pemaksaan seksual.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, dengan 17.305 kasus yang tercatat oleh mitra CATAHU. Sementara itu, laporan dari Komnas Perempuan sendiri mencatat 3.166 kasus kekerasan seksual. Pekerja perempuan, terutama di sektor informal seperti pekerja rumah tangga, menghadapi kerentanan tinggi terhadap kekerasan seksual. Sepanjang tahun 2024. Komnas Perempuan juga menerima 56 laporan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga di tempat kerja.

3. Intoleransi dan Diskriminasi di Lingkungan Kerja

Intoleransi dan diskriminasi di tempat kerja dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari bias terhadap latar belakang agama, suku, gender, hingga orientasi seksual dan kondisi disabilitas. Perilaku ini bukan hanya menciptakan ketidaknyamanan, tetapi juga menghambat produktivitas dan potensi karyawan secara keseluruhan.

Diskriminasi bisa muncul secara halus, seperti stereotip dalam keputusan manajerial, hingga bentuk nyata seperti ketidaksetaraan gaji atau penolakan akses terhadap fasilitas kerja. Dalam banyak kasus, korban enggan menyuarakan perlakuan diskriminatif karena tidak tersedianya mekanisme aduan yang aman atau budaya kantor yang permisif atau kurang tegas terhadap pelanggaran.

Contoh konkret budaya permisif di kantor:

  • Candaan seksis atau rasis dianggap lucu dan dibiarkan tanpa teguran.

  • Atasan yang melakukan pelecehan tetap dipertahankan karena dianggap “berprestasi.”

  • Korban diskriminasi justru disarankan untuk “sabar” atau “tidak baper.”

  • Tidak adanya sanksi atau proses investigasi yang jelas terhadap laporan kekerasan atau diskriminasi.

Dampak, Penanganan, dan Pelaporan Kekerasan di Lingkungan Kerja

Kekerasan di tempat kerja, dalam berbagai bentuknya, tidak hanya berdampak pada individu korban, tetapi juga merusak iklim kerja secara keseluruhan. Dampaknya mencakup penurunan produktivitas, meningkatnya tingkat stres, absensi, hingga pengunduran diri karyawan. Bagi organisasi, hal ini dapat menurunkan reputasi dan kepercayaan pemangku kepentingan.

Sayangnya, banyak kasus kekerasan di tempat kerja tidak dilaporkan. Faktor-faktor seperti ketakutan akan stigma, relasi kuasa yang timpang, serta kurangnya mekanisme pelaporan yang aman, seringkali menjadi penghalang bagi korban untuk melapor.

Untuk menangani isu ini secara efektif, perusahaan perlu mengadopsi pendekatan zero tolerance policy terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA), salah satu langkah terbaik dalam mencegah kekerasan di tempat kerja adalah dengan menetapkan kebijakan nol toleransi yang mencakup semua pekerja, klien, dan pihak terkait lainnya.

Langkah strategis yang dapat diambil perusahaan meliputi:

  • Menyusun dan menyosialisasikan kebijakan anti-kekerasan yang tegas dan menyeluruh, memastikan semua karyawan memahami perilaku yang tidak dapat diterima dan konsekuensinya.

  • Menyediakan kanal pelaporan yang aman dan rahasia, sehingga karyawan merasa nyaman untuk melaporkan insiden tanpa takut akan pembalasan.

  • Melatih karyawan dan manajemen dalam mengenali tanda-tanda kekerasan serta cara meresponsnya secara efektif.

  • Menjamin tindak lanjut yang adil dan transparan terhadap setiap laporan, termasuk investigasi yang objektif dan pemberian sanksi yang sesuai.

  • Memberikan dukungan kepada korban, seperti konseling atau bantuan hukum, untuk membantu pemulihan mereka.


Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, perusahaan tidak hanya melindungi karyawan dari kekerasan, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan produktif.

Dalam upaya mewujudkan lingkungan kerja yang aman dari kekerasan, PT Mitra Utama Madani menyediakan kanal Whistleblowing System (WBS) sebagai sarana bagi karyawan untuk melaporkan berbagai macam pelanggaran, seperti kekerasan, penipuan, dan perilaku tidak etis lainnya. Karyawan dapat menyampaikan pengaduannya melalui kanal WBS ini secara aman, rahasia, dan tanpa rasa takut akan adanya intimidasi atau pembalasan. Melalui adanya mekanisme pelaporan ini, PT Mitra Utama Madani berkomitmen untuk menindaklanjuti setiap pelaporan dengan serius dan profesional guna menjaga integritas perusahaan.

Dengan memperkuat kebijakan internal, membangun budaya saling menghormati, serta menyediakan mekanisme pelaporan yang efektif, perusahaan tidak hanya melindungi hak-hak karyawan, tetapi juga memperkuat fondasi keberlanjutan dan integritas organisasinya.

 

Informasi lebih lanjut:

Aqilla Sekar Ningrum Prastyo

Corporate Communication

PT Mitra Utama Madani

corcom@mum.co.id

www.mum.co.id