Efisiensi AI Bikin PHK Massal: Skill Apa yang Masih Dibutuhkan?

Hasil riset menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia mampu melakukan penghematan biaya operasional hingga 30% melalui penerapan AI (CNBC Indonesia, 2025). Efisiensi ini datang dari percepatan proses, minimnya kesalahan, hingga kemampuan sistem cerdas untuk memproses data dalam jumlah besar. Tidak mengherankan jika perusahaan global seperti Amazon sudah mengoperasikan lebih dari 1 juta robot AI, yang terbukti mempercepat distribusi dan mengurangi beban kerja manual (CNBC Indonesia, 2025).

Namun, peningkatan efisiensi tersebut bukan tanpa konsekuensi. Semakin banyak fungsi yang dialihkan ke mesin, semakin besar pula potensi berkurangnya kebutuhan tenaga kerja manusia. Inilah titik awal perdebatan besar, yaitu efisiensi yang menguntungkan perusahaan ternyata dapat menjadi ancaman serius bagi pekerja.

Ancaman Kehilangan Pekerjaan di Masa Depan

Fenomena otomatisasi tidak hanya terlihat di level global, tetapi juga dirasakan di Indonesia. Laporan Future Jobs Report 2025 memperingatkan bahwa jika tenaga kerja tidak segera meningkatkan keterampilan, angka pengangguran bisa naik lebih dari 5% dari total angkatan kerja (detikfinance, 2025). Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa 60% tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal, serta hanya 13% yang memiliki pendidikan tinggi. Dengan kondisi demikian, banyak pekerja sulit mengakses pelatihan baru yang sebetulnya sangat dibutuhkan.

Prediksi lainnya bahkan lebih spesifik, yaitu hingga 19 profesi diperkirakan hilang menjelang 2030 akibat digitalisasi dan robotisasi (detik.com, 2025). Profesi dengan karakteristik memiliki jam kerja tinggi, seperti operator, kasir, hingga sejumlah pekerjaan administratif, adalah yang paling rentan. Dengan kata lain, jika tidak ada langkah antisipasi, jutaan pekerja berisiko kehilangan mata pencaharian.

Alasan Mengapa Adaptasi Menjadi Kunci

Kondisi ini mendorong pergeseran besar dalam paradigma ketenagakerjaan. Menteri Pendidikan Tinggi pernah menegaskan bahwa satu-satunya jalan untuk bertahan adalah memiliki keterampilan yang tidak bisa digantikan mesin. AI mungkin mampu membuat laporan atau menganalisis data, tetapi kemampuan membaca, menulis dengan konteks budaya, berkomunikasi efektif, serta menunjukkan etos kerja tinggi tetap menjadi keunggulan manusia (detikfinance, 2025).

Dengan demikian, pekerja dituntut untuk tidak hanya menguasai hard skills, tetapi juga memperkuat soft skills. Adaptasi bukan lagi pilihan tambahan, melainkan kebutuhan mendesak agar tetap relevan di tengah derasnya gelombang otomatisasi.

Keterampilan yang Tidak Bisa Digantikan AI dan Strategi Praktis untuk Mengembangkan Diri

Jika ditelusuri lebih dalam, ada sejumlah keterampilan inti yang tetap bernilai tinggi meskipun AI semakin canggih. Situs karir SEEK menyoroti kemampuan empati sebagai contoh utama (seek.com.au, 2025). Misalnya, mesin dapat membaca data perilaku, tetapi tidak bisa memahami perasaan manusia secara mendalam. Begitu pula dengan inovasi dan pemecahan masalah kreatif. Dua kemampuan yang lahir dari intuisi, imajinasi, serta pemahaman kontekstual yang tidak bisa dihasilkan dari sekadar algoritma.

Selain itu, berpikir kritis juga menjadi penopang utama. Di era AI, informasi memang melimpah, tetapi tidak semuanya benar. Pekerja yang mampu menyeleksi, mengevaluasi, dan mengoreksi hasil mesin akan jauh lebih dibutuhkan. Ditambah lagi, adaptabilitas, rasa ingin tahu, serta kemampuan untuk menerima perubahan adalah faktor yang memastikan pekerja dapat tumbuh bersama teknologi, bukan tersisih karenanya.

Menyadari pentingnya keterampilan tersebut, langkah berikutnya adalah bagaimana mengembangkannya. Salah satu cara yang efektif adalah mengikuti short courses atau kelas upgrading yang menawarkan materi lengkap dan aplikatif. Pelatihan seperti ini memungkinkan pekerja menguasai keterampilan baru tanpa harus menempuh pendidikan formal jangka panjang.

Selain itu, memperkuat soft skills melalui pengalaman kerja nyata juga krusial. Misalnya, aktif berkolaborasi di tempat kerja, mengambil peran kepemimpinan kecil, atau bahkan mencoba memanfaatkan AI sebagai alat bantu sehari-hari. Dengan begitu, pekerja tidak hanya menambah keterampilan teknis, tetapi juga melatih fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi.

Kesalahan Umum yang Perlu Dihindari dan Bagaimana Caranya Mengubah Tantangan Ini Menjadi Kesempatan

Sayangnya, tidak sedikit pekerja yang justru terjebak dan melihat AI semata-mata sebagai ancaman sehingga enggan belajar menggunakannya. Ada pula yang hanya fokus pada hard skills teknis tanpa mengembangkan soft skills. Kesalahan lainnya adalah mengandalkan hasil AI tanpa verifikasi, padahal sistem ini tidak jarang menghasilkan informasi keliru. Terakhir, sikap menolak perubahan membuat pekerja kehilangan momentum untuk berkembang. Menghindari kesalahan tersebut menjadi langkah awal agar proses adaptasi berjalan efektif. Dengan mindset terbuka, pekerja dapat menjadikan AI sebagai rekan strategis, bukan pesaing.

Perubahan besar dalam dunia kerja memang tidak bisa dihindari. AI akan terus berkembang, perusahaan akan semakin efisien, dan sejumlah pekerjaan akan tergantikan. Namun, sejarah selalu menunjukkan bahwa setiap revolusi teknologi tidak hanya menghapus pekerjaan lama, tetapi juga melahirkan profesi baru.

Oleh karena itu, kunci keberhasilan terletak pada kesiapan pekerja untuk beradaptasi. Dengan membangun soft skills, seperti empati, inovasi, berpikir kritis, adaptabilitas, dan rasa ingin tahu, ancaman PHK massal dapat diubah menjadi kesempatan untuk naik kelas. Perusahaan juga perlu berperan aktif menyediakan pelatihan, sementara pencari kerja harus proaktif memperbarui kompetensi. Akhirnya, hanya mereka yang mampu menjadikan AI sebagai rekan yang akan tetap relevan, dan bahkan lebih kompetitif di masa depan ketika dunia kerja semakin terdigitalisasi.

 

Informasi lebih lanjut:

Aqilla Sekar Ningrum Prastyo

Corporate Communication

PT Mitra Utama Madani

corcom@mum.co.id

www.mum.co.id